BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR
BELAKANG
Al-Quran
merupakan kitab suci yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.
Al-Quran merupakan pegangan hidup umat manusia, karena Al-Quran mengandung
segala sumber hukum, ilmu penetahuan, serta berisi tentan tata cara kehidupan
kita dalam keseharian.
Dalam
kesempatan ini penulis akan mencoba untuk menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan
tentang masalah dua hal yang berlawanan tetapi satu sama lain diantara keduanya
tidak dapat dipisahkan yaitu perilaku terpuji dan tercela.
Perilaku
atau akhlak setiap manusia sangatlah beragam, mulai dari yang baik maupun
perilaku yang buruk dan biasanya menjadi sorotan masyarakat dimana ia tinggal. Ditengah kehidupan moderen ini
sangat sulit dalam menemukan orang-orang yang memiliki perilaku yang baik. Kami
disini akan membahas sebagian perilaku-perilaku yang ada dalam kehidupan
bermasyarakat.
2.
RUMUSAN
MASALAH
a.
Apa
itu perilaku?
b.
Perilaku
terpuji ?
c.
Perilaku
tercela ?
d.
Apa
saja ganjaran bagi orang yang melaksanakan perilaku terpuji dan menjauhi
perilaku tercela ?
3.
TUJUAN
a.
Supaya
kita mengenal lebih jauh apa itu perilaku
b.
Agar
kita dapat membedakan antara perilaku terpuji dan perilaku tercela
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Akhlak ( Perilaku )
Pengertian Akhlak Secara Etimologi,
perkataan "akhlak" berasal dari bahasa Arab jama' dari bentuk
mufradnya "Khuluqun" yang menurut logat diartikan: budi pekerti,
perangai, tingkah laku atau tabiat.[1]
Baik kata akhlaq atau khuluq kedua-duanya dapat dijumpai di dalam al Qur'an,
sebagai berikut:
و إنّك لعلى خلق عظيم
Yang Artinya :
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad)
benar-benar berbudi pekerti yang Agung.” (Q.S. Al-Qalam, 68:4).
Sedangkan menurut pendekatan secara
terminologi, berikut ini beberapa pakar mengemukakan pengertian akhlak sebagai
berikut:
a)
Ibn Miskawaih
Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang
yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui
pertimbangan pikiran lebih dahulu.[2]
b)
Imam Al-Ghazali
Akhlak adalah suatu sikap yang
mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan
gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan pertimbanagan. Jika sikap itu yang darinya
lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal dan syara', maka ia
disebut akhlak yang baik. Dan jika lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap
tersebut disebut akhlak yang buruk.[3]
c)
Prof. Dr. Ahmad Amin
Sementara orang mengetahui bahwa
yang disebut akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya, kehendak itu bila
membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak.
Menurutnya kehendak ialah ketentuan
dari beberapa keinginan manusia setelah imbang, sedang kebiasaan merupakan
perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah melakukannya, Masing-masing dari
kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan, dan gabungan dari kekuatan itu
menimbulkan kekuatan yang lebih besar. Kekuatan besar inilah yang bernama
akhlak.[4]
Jika diperhatikan dengan seksama,
tampak bahwa seluruh definisi akhlak sebagaimana tersebut diatas tidak ada yang
saling bertentangan, melainkan saling melengkapi, yaitu sifat yang tertanam
kuat dalam jiwa yang nampak dalam perbuatan lahiriah yang dilakukan dengan
mudah, tanpa memerlukan pemikiran lagi dan sudah menjadi kebiasaan.
Jika dikaitkan dengan kata Islami,
maka akan berbentuk akhlak Islami, secara sederhana akhlak Islami diartikan
sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran Islam atau akhlak yang bersifat Islami.
Akhlak Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah
daging dan sumbernya berdasarkan pada ajaran Islam. Dilihat dari segi sifatnya
yang universal, maka akhlak Islami juga bersifat universal.[5]
Dari definisi di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa dalam menjabarkan akhlak universal diperlukan bantuan
pemikiran akal manusia dan kesempatan social yang terkandung dalam ajaran etika
dan moral. Menghormati kedua orang tua misalnya adalah akhlak yang bersifat
mutlak dan universal. Sedangkan bagaimana bentuk dan cara menghormati oarng tua
itu dapat dimanifestasikan oleh hasil pemikiran manusia.
Jadi, akhlak islam bersifat
mengarahkan, membimbing, mendorong, membangun peradaban manusia dan mengobati
bagi penyakit social dari jiwa dan mental, serta tujuan berakhlak yang baik
untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dengan demikian akhlak Islami itu
jauh lebih sempurna dibandingkan dengan akhlak lainnya. Jika akhlak lainnya
hanya berbicara tentang hubungan dengan manusia, maka akhlak Islami berbicara
pula tentang cara berhubungan dengan binatang, tumbuh-tumbuhan, air, udara dan
lain sebagainya. Dengan cara demikian, masing masing makhluk merasakan fungsi
dan eksistensinya di dunia ini.
2.
Perilaku Terpuji
Dalam kehidupan sehari-hari kita
mengenal perilaku atau akhlak salah satunya akhlak terpuji. Adapun ayat-ayat yang mejelaskan perilaku
terpuji, diantaranya:
QS. Al baqoroh 153
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ إِنَّ اللَّهَ
مَعَ الصَّابِرِينَ (153)
Hai
orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu
sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Al Baqoroh: 153)
Melalui
ayat ini Allah menjelaskan perihal sabar dan hikmah yang terkandung di dalam
masalah menjadikan sabar dan salat sebagai penolong serta pembimbing. Kata (الصبر) ash-shabr/sabar
yang dimaksud mencakup banyak hal: sabar menghadapi ejekan dan rayuan, sabar
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, sabar dalam petaka dan kesulitan,
serta sabar dalam berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan.[6]
Karena sesungguhnya seorang hamba itu adakalanya berada dalam kenikmatan, lalu
ia mensyukurinya; atau berada dalam cobaan, lalu ia bersabar menanggungnya.
Allah SWT menjelaskan bahwa sarana yang paling baik untuk menanggung segala
macam cobaan ialah dengan sikap sabar dan banyak salat, seperti yang dijelaskan
di dalam firman-Nya:
وَاسْتَعِينُوا
بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ (45)
Jadikanlah sabar dan
shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat,
kecuali bagi orang-orang yang khusyu. (Al Baqoroh: 45)
Sabar itu ada dua macam, yaitu sabar dalam meninggalkan
hal-hal yang di haramkan dan dosa-dosa, serta sabar dalam menjalankan
ketaatan dan amal-amal shaleh. Adapun
jenis sabar lainnya, yaitu sabar dalam menanggung segala macam musibah dan
cobaan, jenis inipun hukumnya wajib; perihalnya sama dengan istigfar (memohon ampun) dari segala macam
cela.[7]
Karena kesabaran membawa kepada
kebaikan dan kebahagiaan, maka manusia tidak boleh berpangku tangan, atau
terbawa kesedihan oleh petaka yang dialaminya, ia harus berjuang dan berjuang.
Memperjuangkan kebenaran, dan menegakkan keadilan.
Dengan sikap seperti itu diharapkan Ummat islam memiliki mental yang kuat dan
tidak cengeng dalam menghadapi lika-liku dan kerasnya kehidupan di dunia,
sehingga manusia itu akan bertambah lebih maju.
QS. Al
imran 133-134
وَسَارِعُوا
إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ
أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ
وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنْ النَّاسِ وَاللَّهُ
يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134)
Dan bersegeralah kamu
kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan
bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan. (Al Imran: 133-134)
Ayat ini, menganjurkan peningkatan
upaya, melukiskan upaya itu bagaikan satu perlombaan, dan kompetisi yang memang
merupakan salah satu cara peningkatan kualitas. Karena itu bersegeralah kamu
bagaikan ketergesaan seorang yang ingin mendahului yang lain menuju ampunan
dari Tuhanmu dengan menyadari kesalahan dan berlombalah mencapai, yaitu
surga yang sangat agung yang lebarnya, yakni luasnya selebar seluas
langit dan bumi yang disediakan untuk al-muttaqin, yakni orang-orang yang
telah mantap ketakwaannya, yang taat melaksanakan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya.
Ayat ini juga menunjukkan tiga kelas
manusia atau jenjang sikapnya. Pertama, yang mampu menahan amarah. Kata
(الكاظمين) mengandung makna penuh dan menutupnya dengan rapat.
Diatas tingkat ini, adalah yang memaafkan. Kata (العافين) terambil dari
kata (العفن) al-‘afn yang bararti maaf atau juga bisa
diartikan menghapus. Seseorang yang memafkan orang lain, adalah
menghapus bekas luka hatinya akibat kesalahan yang dilakukan orang lain
terhadapnya. Selanjutnya, untuk mencapai tingkat ketiga Allah mengingatkan
bahwa yang disukainya adalah orang-orang yang berbuat kebajikan, yakni bukan
orang yang sekedar menahan amarah, atau memaafkan tetapi justru yang berbuat
baik kepada yang pernah melakukan kesalahan.[8]
Untuk itu, disini kita bisa melihat
tingkat-tingkat kenaikan takwa seorang mu’min. Pertama, mereka pemurah,
baik dalam waktu senang atau dalam waktu susah. Artinya kaya atau miskin
berjiwa dermawan. Naik setingkat lagi, yaitu pandai menahan amarah. Tetapi
bukan tidak ada marah, karena orang yang tidak ada rasa marahnya sama sekali
ketika melihat yang salah adalah orang yang tidak berperasaan. Yang dikehendaki
disini, ialah kesanggupan mengendalikan diri ketika marah. Ini adalah tingkat
dasar. Kemudian naik setingkat lagi, yaitu memberi maaf. Kemudian naik
ketingkat yang diatas sekali, menahan amarah, member maaf, diiringi dengan
berbuat baik, khususnya kepada orang yang nyaris dimarahi dan dimaafkan itu.
Demikianlah takwa bekerja dibidang
ini, dengan dorongan-dorongan dan motivasi-motivasinya. Marah adalah perasaan
manusiawi yang diiringa dengan naiknya tekanan darah. Marah adalah salah satu
dorongan yang menjadi kelengkapan penciptaan manusia dan salah satu
kebutuhannya. Manusia tidak dapat menundukkan kemarahan ini kecuali dengan
perasaan yang halus dan lembut yang bersumber dari pancaran takwa, dan dengan
kekuatan ruhiah yang bersumber dari pandangannya kepada ufuk yang lebih luas
dari pada ufuk dirinya dan cakrawala kebutuhannya.
QS. An
nisa’ 114
لا
خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ
مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ
مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً (114)
Tidak ada kebaikan pada
kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang
menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan
perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena
mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.
(an nisa’: 114)
Ayat ini merupakan pendidikan yang
sangat berharga bagi masyarakat, yakni untuk saling terbuka, sedapat mungkin
untuk tidak saling merahasiakan sesuatu. Kerahasiaan mengandung makna
ketidakpercayaan sedangkan keterbukaan dan terus terang menunjukkan keberanian
pembicara.
“tidak ada kebaikan pada kebanyakan
bisikan-bisikan mereka manusia”dari sini dapat dipahami larangan Nabi saw melakukan
pembicaraan rahasia dihadapan orang lain, yang nantinya dapat menimbulkan
fitnah, sehingga memunculkan rasa dengki hati dan suudzan yang dapat memecah
belah umat. Maka dari itu jelahslah bahwa bisik-bisik tidak ada kebaikan atau
manfaat yang bisa diambil. Mana yang tidak setuju hendaknya dukatakan terus
terang.
“kecuali bisikan-bisikan dari orang
yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan
perdamaian di antara manusia” dari tiga hal diatas tidak mengandung madzarat kalo
diperbisikkam. , bahkan memang patut ghal-hal tersebut diperbisikkan terlebih
dahulu.
Menyuruh atau menganjurkan orang
mengeluarkan sedekah memang kadang-kadang perlu dirahasiakan terlebih dahulu,
supaya dapat diteliti siapa yang patut menerimanya. Sebab ada orang yang berhak
menerima sedekah atau zakat tetapi dia malu memintanya atau malu ketahuan.
Banyak orang yang mempunyai budi yang dinamai iffah, yaitu pandai
menahan diri, sehingga banyak orang yang menyangka dia kaya, padahal dia berhak
menerima sedekah ataupun zakat. Dan lebih baik lagi kalo diberikan secara
rahasia, sehingga yang diberi tidak merasa malu. Demikian pula, ada orang yang
mampu mengeluarkan zakat, tetapi dia enggan memperlihatkannya karena takut
riya’, maka dia memberikan zakat tersebut secara rahasia.
Menyuruh perbuatan yang ma’ruf
kadang-kadang lebih baik disampaikan secara rahasia. Seperti orang yang
melakukan perbuatan jelek ditegur dihadapan banyak orang akan menimbulkan
masalah lain, maka sebaiknya dilakukan teguran tersebut secara rahasia.
Mendamaikan orang yang sedang berselisih sepatutnya dilakukan secar rahasia.
Hal ini untuk menjaga nama baik kedua belah pihak
Menurut ar-razi sesungguhnya amal
pada garis besarnya tidak keluar dari memberi manfaat atau menafikkan
madzarat,pemberian manfaat dapat bersifat material dan inilah yang diwakili
oleh sedekah, sedangkan yang bersifat immateraial ditunjukkan dengan amar
ma’ruf. Ma’ruf dapat mencangkup pengembangan potensi kemampuan teoritis melalui
pemberian pengetahuan, atau pengembangan potensi melalui keteladanan.[9]
Semua
bisik-bisik ditempat sunyi tidak menimbulkan bahaya. Asal ada niat baik
rerkandung didalamnya , sebab lanjutan ayat berbunyi dengan tegas” dan
barangsiapa yang berbuat demikian”yaitu segala macam bisik yang mengandung
maksud baik, yang bukan hendak merugikan orang lain, karena menginginkan
keridhaan Allah. Sebab timbul pengaruh iman kepada Tuhan dan kasih sayang
sesama manusia. Lantaran bersedekah, menyuruh berbuat baik dan mendamaikan orang
yang bertengkar atau berkelahi. Yang nantinya Allah akan memberi pahala yang
sangat besar.
Oleh
karenaitu, kita sebagai manusia harus menjaga komunikasi antar manusia supaya
tidak menimbulkan perpecahan diantara sesama manusia, karena komunikasi itu penting
dalam sebuah kehidupan dimanapun kita berada.
3. Perilaku
Tercela
Perilaku tercela adalah perilaku
yang yang dipandang tidak baik dan tidak sesuai dengan syara’(tidak sesuai
dengan ajaran islam), ayat-ayat al qur’an yang menerangkan perilaku tercela diantaranya:
QS. Al
Anfal 27
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا
أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (27)
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga)
janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang
kamu mengetahui. (Al Anfal: 27)
Ayat ini mengaitkan orang-orang
beriman dengan amanah atau larangan berkhianat. Bahwa diantara indikator
keimanan seseorang adalah sejauh mana dia mampu melaksanakan amanah. Demikian
pula sebaliknya bahwa ciri khas orang munafik adalah khianat dan melalaikankan
amanah-amanahnya.
Kata
( تخونوا ) takhunu terambil dari kata ( الخون ) al- khaun
yakni “kekurangan”, antonimnya adalah ( الوفاء ) al-wafa’ yang
berarti “kesempurnaan”. Selanjutnya kata “khianat” di gunakan sebagai
antonim dari “amanat” karena jika seseorang mengkhianati pihak lain maka dia
telah mengurangi kewajiban yang ia harus tunaikan. Kata ( أمنات ) amanat
adalah bentuk jamak dari kata ( امنة ) amanah
yang terambil dari kata ( أمن ) amina
yang berarti “merasa aman”, dan “percaya”. Siapa yang dititipi amanat, maka itu
berarti yang menitipkannya percaya kepadanya dan merasa aman bahwa sesuatu yang
dititipkan itu akan diperlihara olehnya.[10]
Tetapi perlukita tahu bahwa sikap
munafik ini perlu kita hindari jauh-jauh demi keberlangsungan hidup yang
harmonis.
QS. Al
isra’ 26-27
وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ
وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيراً (26) إِنَّ
الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ
كَفُوراً (27)
Dan
berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (
Al Isra’: 26-27 )
Allah
SWT memerintahkan kepada kaum Muslimin agar menunaikan hak kepada
keluarga-keluarga yang dekat, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan. Hak yang harus ditunaikan itu ialah: Mempererat tali persaudaraan
dan hubungan kasih sayang, mengunjungi rumahnya dan bersikap sopan santun,
serta membantu meringankan penderitaan-penderitaan yang mereka alami.
Kata ( اتوا ) atu
bermakna pemberian sempurna. Pemberian yang dimaksud bukan
hanya terbatas pada hal-hal materi tetapi juga inmateri. Kata ( تبدير ) tabdzir/pemborosan
dipahami oleh ulama dalam arti pengeluaran yang bukan haq, karena itu jika
seseorang menafakahkan/membelanjakan semua hartanya dalam kebaikan atau haq,
maka ia bukan seorang pemboros. Seperti Sayyidina Abu Bakar ra menyerahkan
semua hartanya kepada Nabi saw dalam rangka berjihat dijalan Allah.
Kata ( إخوان ) ikhwan adalah bentuk
jamak dari kata ( أخ )
akh yang bisa diterjemahkan saudara. Kata ini pada mulanya berarti
persamaan dan keserasian. Dari sini persamaan dalam asal usul keturunan
mengakibatkan persaudaraan, baik asal usul jauh, lebih-lebih yang dekat.
Persaudaraan setan dengan pemboros adalah persamaan sifat-sifatnya. Mereka
berdua sama melakukan hal-hal yang batil, tidak pada tempatnya.Penambahan kata
( كانوا )
kanu pada penggalan ayat di atas, untuk mengisyaratkan kemantapan
persamaan dan persaudaraan itu.[11]
Penyifatan dengan kufur/sangat ingkar merupakan
peringatan keras kepada para pemboros yang menjadi teman setan itu, bahwa
persaudaraan dan kebersamaan mereka dengan setan dapat mengantar mereka pada
kekufuran.
Dan sikap boros itu sangat berbahaya bagi orang yang
tidak bisa mengendalikan nafsunya, karena nafsu itu berkorelasi dengan sifat
boros yang jelas-jelas merugikan manusia dari segi jasmani maupun rohani.
QS. An
nisa’ 148
لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ
بِالسُّوءِ مِنْ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعاً عَلِيماً
(148)
Allah
tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh
orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. ( An
Nisa’: 148 )
“Allah tidaklah suka penyebaran
perkataan-perkataan yang buruk.” (pangkalayat148). Kalau dikatakan Allah tidak suka, niscaya
Allah membencinya. Maka amatlah benci
menyiar-nyiarkan atau menjelas-jelaskan perkataan yang buruk, yang kotor, yang
cabul dan yang carut-marut. Yang disukai
oleh Allah hanyalah kata-kata yang sopan yang tidak menyinggung perasaan, yang
tidak merusak akhlak.
Untuk menuntun batin
dan kesopanan kita, pada penutup, Tuhan menyatakan bahwa Dia selalu mendengar
apa yang kita ucapkan, sopankah atau kotor, dan mengetahui perangai-perangai
dan kelakuan kita yang akan bisa menjatuhkan Muru’ah (harga diri). Karena
banyaknya kata kotor, adalah alamat dari budi dan batin yang memulai kotor.
Padahal ummat yang beragama, sudah semestinya mempunyai kesopanan yang tinggi.
Tentu saja perkataan
yang tidak patut kita ucapkan itu sangat tidak menguntungkan bagi pribadi
maupun khalayak umum, karena perkataan yang tidak baik itu dapat menimbulkan
perpecahan.
4. Balasan
Terhadap Perilaku Terpuji dan Tercela
Orang bekerja
mesti ada ganjarannya begitupun dengan perilaku terpuji dan tercela. Allah SWT
tidak akan menyia-nyiakan perbuatan manusia, oleh karena itu Allah membalas
perilaku-perilaku yang dilakukan manusia sebagaimana yang di sebutkan dalam
ayat-ayat berikut:
QS. Al
an’am 160
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ
عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلا يُجْزَى إِلاَّ مِثْلَهَا
وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ (160)
Barangsiapa
membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan
barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan
melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya
(dirugikan).
(Al An’am: 160)
Ayat ini menjelaskan bahwa pembalasan Allah SWT. sungguh adil, yakni
barang siapa diantara manusia yang datang membawa amal yang baik, yakni
berdasar iman yang benar dan ketulusan hati, maka baginya pahala sepuluh kali
lipatnya yakni sepuluh kali lipat amalnya sebagai karunia dari Allah SWT; dan
barang siapa yang membawa perbuatan yang buruk maka dia tidak diberi pembalasan
melainkan seimbang dengan kejahatannya, itu pun jikalau allah menjatuhkan
sanksi atasnya, tetapi tidak sedikit keburukan hamba yang dimaafkannya. Kalau
allah menjatuhkan sanksi, maka itu sangat adil, dan dengan demikian mereka
yakni yang melakukan kejahatan itu sedikitpun tidak dianiaya tetapi
masing-masing akan memperoleh hukuman setimpal dengan dosanya. Adapun yang berbuat
kebajikan, maka bukan saja mereka tidak dianiaya, bukan juga mereka diberi
ganjaran yang adil, tetapi mereka mendapat anugerah dari Allah SWT.[12]
Ayat ini memerintahkan kita supaya memperbanyak berbuat baik. Artinya
ialah barang siapa yang dating kepada Allah di hari kiamat dengan sifat-sifat
yang baik, maka ia akan mendapat ganjaran atau pahala dari Allah SWT.
Dan barang siapa yang nantinya menghadap Allah dengan sifat-sifat jahat
yang telah tertanam dalam dirinya, maka ganjaran siksaan yang akan diterimnya
adalah setimpal dengan kejahatannya. Artinya suatu kejahatan tidaklah akan
dibalas dengan sepuluh kali ganda siksaan. Maka ayat ini memberikan kejelasan
benar bagi kita bahwasanya sifat Rohman dan Rohim Allah lebih berpokok dari
sifat murkanya Allah SWT.
QS. An-Nisa : 79
مَا
أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنْ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ
نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولاً وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيداً (79)
Apa saja nikmat yang
kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari
(kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap
manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi. (An-Nisa’: 79)
Ayat ini menegaskan sisi upaya manusia yang
berkaitan dengan sebab dan akibat. Hukum-hukum alam dan kemasyrakatan cukup
banyak dan beraneka ragam. Dampak baik dan dampak buruk untuk setiap gerak dan
tindakan telah ditetapkan Allah melalaui hukum-hukum tersebut, manusia diberi
kemampuan memilah dan memilih, dan masing-masing akan mendapatkan hasil
pilihannya. Allah sendiri melalui perintah dan larangan-Nya menghendaki, bahkan
menganjurkan kepada manusia agar meraih kebaikan dan nikmat-Nya, karena itu
ditegaskan-Nya bahwa, apa saja nikmat
yang engkau peroleh, wahai Muhammad dan semua manusia, adalah dari Allah, yakni Dia yang mewujudkan anugerah-Nya, dan apa saja bencana yang menimpamu, engkau
wahai Muhammad dan siapa saja selain kamu, maka
bencana itu dari kesalahan dirimu sendiri, karena Kami mengutusmu tidak
lain hanya menjadi Rasul untuk menyampaikan tuntutan-tuntutan Allah kepada
segenap manusia, kapan dan di mana pun mereka berada. Kami mengutusmu hanya
menjadi Rasul, bukan seorang yang dapat menentukan baik dan buruk sesuatu
sehingga bukan karena terjadinya bencana atau keburukan pada masamu kemudian
dijadikan bukti bahwa engkau bukan Rasul. Kalaulah mereka menduga demikian,
biarkan saja. Dan cukuplah Allah menjadi
saksi atas kebenaranmu.
Ayat
diatas secara redaksional ditujukan kepada Rasulullah saw., tetapi kandungannya
terutama ditujukan kepada mereka yang menyatakan bahwa keburukan bersumber dari
Nabi atau karenakesialan yang menyertai beliau. Pengarahan redaksi ayat ini
kepada Nabi membuktikan bahwa kalau beliau yang sedemikian dekat dengan
kedudukannya di sisi Allah serta sedemikian kuat ketakwaannya kepada Allah
tetap tidak dapat luput dari sunnatullah dan takdir-Nya, maka tentu lebih-lebih
yang lain. Allah tidak membedakan seseorang dari yang lain dalaqm hal
sunnatullah ini.[13]
Setiap kebaikan yang diperoleh oleh orang
mukmin, sesungguhnya berasal dari karunia dan kemurahan Allah, di ayat ini ada
dua hal yang perlu diketahui :
Ø Bahwa
segala sesuatu yang berasal dari sisi Allah, dalam arti bahwa Dialah yang
menciptakan segala sesuatu dan menggariskan aturan-aturan.
Ø Manusia terjerumus
kedalam keburukan tidak lain disebabkan dia lalai untuk mengetahui
sunnah-sunnah. Sesuatu dikatakan buruk, sebenarnya disebabkan oleh tindakan
manusia itu sendiri.
Berdasarkan
pandangan ini, maka kebaikan berasal dari karunia Allah secara mutlak, dan
keburukan berasal dari diri manusia sendiri secara mutlak. Masing-masing dari
dua kemutlakan ini mempunyai posisi pembicaraan tersendiri. Telah banyak dasar
yang menyatakan bahwa ketaatan kepada Allah merupakan salah satu sebab
mendapatkan nikmat, dan bahwa kedurhakaaan kepadanya merupakan salah satu jalan
yang mendatangkan kesengsaraan. Ketaatan kepadanya adalah mengikuti
sunnah-sunnah-Nya dan menggunakan jalan-jalan yang telah diberi-Nya pada tempat
mestinya.
“Kami
mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia”. Kewajiban Rasul hanyalah
menyampaikan ajaran Allah. Dia tidak mempunyai urusan dan campur dalam perkara
kebaikan dan keburukan yang menimpa manusia, karena beliau diutus menyampaikan
ajaran menyampaikan hidayah.
“Dan cukuplah Allah menjadi saksi”. Sesungguhya rasul diutus kepada
seluruh umat manusia hanya sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, bukan
sebagai orang yang berkuasa atau untuk mengubah dan mengganti aturan-aturan
yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT
QS. Hud : 114
وَأَقِمْ الصَّلاةَ طَرَفِي
النَّهَارِ وَزُلَفاً مِنْ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ (114)
Dan
dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada
bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik
itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi
orang-orang yang ingat. (Hud: 114)
Ayat ini
mengajarkan: “ dan dirikanlah shalat
dengan teratur dan benar sesuai dengan ketentuan, rukun, syarat dan
sunnah-sunnahnya pada kedua tepi siang yakni
pagi dan petang, atau Subuh, Dzuhur dan Ashar dan pada bagian permulaan daripada malam yaitu Maghrib dan Isya,
dan juga bisa termasuk Witir dan Tahajud. Yang demikian itu dapat menyucikan
jiwa dan mengalahkan kecenderungan nafsu untuk berbuat kejahatan. Sesungguhnya kebajikan-kebajikan itu yakni
perbuatan-perbuatan baik seperti shalat, zakat, shadakah, istighfar, dan aneka
ketaatan lain dapat menghapuskan dosa
kecil yang merupakan keburukan-keburukan yakni
perbuatan-perbuatan buruk yang tidak mudah dihindari manusia. Adapun dosa
besar, maka itu membutuhkan ketulusan hati untuk bertaubat, permohonan ampun
secara khusus dan tekad untuk tidak mengulanginya. Iitu yakni petunjuk-petunjuk yang
disampaikan sebelum ini yang sungguh tinggi nilainya dan jauh kedudukannya
itulah peringatan yang sangat bermanfaat bagi orang-orang yang siap menerimanya
dan yang ingat tidak melupakan Allah.
Disamping
mengandung makna bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa kecil apabila seseorang
telah mengerjakan amal-amal saleh, juga mengandung makna bahwa amal-amal saleh
yang dilakukan seseorang secara tulus dan konsisten akan dapat membentengi
dirinya sehingga dengan mudah dia dapat terhindar dari keburukan-keburukan.
Makna semacam ini sejalan juga dengan firman Allah dalam surah al-Ankabut ayat
45, yang artinya “ sesungguhnya shalat
mencegah perbuatan keji dan munkar "[14]
Dalam
tafsir at-Tabari dijelaskan bahwa ada beberapa faedah yang dikandung ayat ini
adalah penjelasan untuk mendirikan salat wajib. Ayat ini menjelaskan secara
ringkas semua waktu shalat yang wajib. Karena kedua tepi siang mencakup shalat
subuh, shalat dzuhur dan shalat ashar. Adapun bagian permulaan malam mencakup
shalat maghrib dan isya. Namun Imam Ath-Thabari lebih memilih pendapat bahwa
bahwa shalat pada kedua tepi siang itu maksudnya adalah shalat subuh dan
maghrib.
Ayat ini
menjelaskan bahwa shalat termasuk diantara al-hasanat
(amal saleh). Ayat ini juga
menjelaskan bahwa al-Quran sebagai mau’izhan
(nasihat) bagi mereka yang mengingat-ingat. Orang-orang yang ingat disebut
secara khusus disini karena mereka yang mendapat manfaat dari nasihat itu.
QS. Al-Hijr
: 39-40
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي
لأزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الأَرْضِ وَلأغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ (39) إِلاَّ
عِبَادَكَ مِنْهُمْ الْمُخْلَصِينَ (40)
Iblis berkata: "Ya Tuhanku,
oleh sebab Engkau Telah memutuskan bahwa Aku sesat, pasti Aku akan menjadikan
mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti Aku akan
menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka".(Al-Hijr: 39-40)
setelah
Allah menyampaikan bahwa Iblis akan termasuk mereka yang ditangguhkan hidupnya
hingga waktu tertentu, Iblis berkata, “Tuhanku, disebabkan oleh penyesatan-Mu
terhadap diriku yakni kutukan-Mu terhadapku hingga hari kemudian, maka pasti
aku akan memperindah bagi mereka yakni menjadikan mereka memandang baik
perbuatan maksiat serta segala macam aktivitas di muka bumi yang mengalihkan
mereka dari pengabdian kepada-Mu, dan pasti pula dengan demikian aku akan dapat
menyesatkan mereka semuanya dari jalan lurus menuju kebahagiaan duniawi dan
ukhrawi. Upaya tersebut akan menyentuh semua manusia, kecuali hamba-hamba-Mu
yang mukhlas diantara mereka, yakni yang engkau pilih karena mereka telah
menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Mu.[15]
Allah
berfirman memberi tahu bahwa iblis berkata kepadanya, “Ya Tuhanku, dikarenakan
engkau telah menakdirkan aku tersesat, maka pasti aku akan menyesatkan anak
cucu adam dengan membujuk mereka memandang baik segala perbuatan maksiat dan
mendorong mereka dengan segala tipu daya agar mereka menjauhi segala perintahmu
dan pasti aku akan berhasil dalam usaha penyesatanku ini kecuali terhadap
beberapa hamba-hamba-Mu yang memperoleh taufik dan hidayah untuk menaati segala
petunjuk dan perintahmu.
QS. Muhammad : 15
مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ
الْمُتَّقُونَ فِيهَا أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍ غَيْرِ آسِنٍ وَأَنْهَارٌ مِنْ لَبَنٍ
لَمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ وَأَنْهَارٌ مِنْ خَمْرٍ لَذَّةٍ لِلشَّارِبِينَ
وَأَنْهَارٌ مِنْ عَسَلٍ مُصَفًّى وَلَهُمْ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ
وَمَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ كَمَنْ هُوَ خَالِدٌ فِي النَّارِ وَسُقُوا مَاءً
حَمِيماً فَقَطَّعَ أَمْعَاءَهُمْ (15)
Perumpamaan (penghuni) jannah yang dijanjikan kepada
orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang
tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak beubah
rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan
sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala
macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka, sama dengan orang yang kekal
dalam jahannam dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong
ususnya.
(Muhammad: 15)
Ayat di atas menguraikan
sekelumit dari ganjaran yang di janjikan kepada orang-orang bertakwa.Kata (
مثل ) matsal digunakan dalam arti perumpamaan yang
aneh atau menakjubkan. Perlu diingat bahwa matsal bukan berarti persamaan
antara dua hal, ia hanya perumpamaan. Memang ada perbedaan antara ( مثل ) matsal
dan (
مثل ) mitsil. Yang
kedua ( mitsil ) mengandung makna
persamaan bahkan keserupaan atau kemiripan, sedangkan matsal tekanannya lebih
banyak pada keadaan atau sifat yang menakjubkan yang dilukiskan oleh kalimat
matsal itu. Keadaan surge tidak dapat dipersamakan dengan sesuatu, karena
seperti sabda Nabi saw : “Di sana terdapat apa yang belum pernah dilihat mata,
atau didengar oleh telinga dan terlintas dalam benak manusia.”
Kata ( أنهار ) anhar adalah bentuk jamak dari
kata ( نهر
) nahar yaitu aliran air yang sangat besar yang biasanya bukan buatan
manusia tetapi alami. Dalam kehidupan dunia, kita tidak menemukan sungai yang
mengalir darinya susu, madu atau khamr. Anda dapat memahami kata anhar di sini
dalam pengertian metafora yakni di sama akan ditemukan dengan mudah dan banyak
minuman-minuman itu seperti halnya menemukan dalam kehidupan dunia ini aliran
air. Seperti yang di kemukakan di atas bahwa ini adalah matsal yang bukan
berarti sama.[16]
5.
Hikmah
hikmah melaksanakan perilaku terpuji dan menjauhi perilaku tercela
a.
Menumbuhkan
rasa solidaritas sesama muslim atau ukhuah islamiyah, sehingga persaudaraan
selalu terpupuk dengan kuat
b.
Menumbuhkan
sikap disiplin dan sikap mental yang kuat dalam kehidupan bermasyarakat
c.
Mendidik
jiwa agar biasa dan dapat menguasai diri, sehingga mudah menjalankan segala
kebaikan dan meninggalkan segala larangan
d.
Disenangi
teman dan disegani lawan,
e.
Sebuah
pembuktian ketaatan dan ketakwaan seorang manusia kepada Allah, sehingga ia
semakin dekat dengan sang pencipta
f.
Terhindar
dari penyakit-penyakit lahir dan batin yang berlebihan, karena penyakit ini
sangat berbahaya bagi diri manusia itu sendiri dan orang lain, sehingga dapat
merusak antara habluminallah, habluminannas, dan habluminalalam
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari beberapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang perilaku
manusia, kita bisa memahami sebernarnya manusia adalah makhluk yang lemah namun
memiliki keinginan kuat untuk menguasai dunia. Keinginan tersebut tidak
seimbang dengan ketahanan batin manusia yang banyak mengeluh ketika mendapat
cobaan.
Yang perlu di ingat, bahwasanya syetan akan terus menarik kita ke
lembah kehancuran. Dia merasa dirinya terusir dan terlaknat akibat ulah
manusia. Untuk itu, kita haruslah menjaga diri kita dengan melaksanakan apa
yang Allah perintahkan kepada kita dengan sabar dan ikhlas karena semua dari
Allah dan akan kembali kepada-Nya. Mudah-mudahan kita menjadi golongan yang
beruntung di hari akhir seperti yang dicontohkan didalam Al-Qur’an agar diri
kita tidak merugi pada hari pembalasan kelak.
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Dimasyqi,
Ibnu Kasir. 2000. Terjemah Tafsir Ibnu Kasir Juz 2. Bandung:
Sinar Baru Algensindo
Zahruddin. 2004. Pengantar Ilmu Akhlak,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Ardani,
Moh. 2005. Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Mitra Cahaya Utama
Nata,
Abuddin. 2003. Akhlak Tasawuf,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Shihab, Quraish. 2000. Tafsir Al-Misbah Volume 2. Jakarta: Lentera
Hati
_____________. 2000. Tafsir Al-Misbah volume 4. Jakarta. Lentera Hati
_____________. 2002. Tafsir
Al-Misbah volume 3. Jakarta: Lentera
Hati
_____________.
2002. Tafsir Al-Misbah Volume 6. Jakarta:
Lentera Hati
_____________. 2002. Tafsir Al-Misbah Volume 7. Jakarta:
Lentera Hati
_____________. 2004. Tafsir Al-Misbah Volume 13. Jakarta:
Lentera Hati
_____________.
2005. Tafsir Al-Misbah volume 1. Jakarta: Lentera Hati
[7] Imam Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi,, Terjemah Tafsir Ibnu
Kasir Juz 2 (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), 49
[10] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah (Jakarta: Leentera hati, 2005), 432
[11] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 452
[12] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 4 (Jakarta:
Lentera Hati, 2000),352
[13] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2000),497
[15] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 7 (Jakarta:
Lentera Hati, 2002),128-129