Rabu, 21 November 2012

Ayat-ayat perilaku terpuji dan tercela


BAB I
PENDAHULUAN

1.                  LATAR BELAKANG
Al-Quran merupakan kitab suci yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Quran merupakan pegangan hidup umat manusia, karena Al-Quran mengandung segala sumber hukum, ilmu penetahuan, serta berisi tentan tata cara kehidupan kita dalam keseharian.
Dalam kesempatan ini penulis akan mencoba untuk menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan tentang masalah dua hal yang berlawanan tetapi satu sama lain diantara keduanya tidak dapat dipisahkan yaitu perilaku terpuji dan tercela.
Perilaku atau akhlak setiap manusia sangatlah beragam, mulai dari yang baik maupun perilaku yang buruk dan biasanya menjadi sorotan masyarakat dimana ia tinggal. Ditengah kehidupan moderen ini sangat sulit dalam menemukan orang-orang yang memiliki perilaku yang baik. Kami disini akan membahas sebagian perilaku-perilaku yang ada dalam kehidupan bermasyarakat.

2.                  RUMUSAN MASALAH
a.                   Apa itu perilaku?
b.                  Perilaku terpuji ?
c.                   Perilaku tercela ?
d.             Apa saja ganjaran bagi orang yang melaksanakan perilaku terpuji dan menjauhi perilaku tercela ?

3.                  TUJUAN
a.                   Supaya kita mengenal lebih jauh apa itu perilaku
b.                  Agar kita dapat membedakan antara perilaku terpuji dan perilaku tercela


BAB II
PEMBAHASAN

1.   Pengertian Akhlak ( Perilaku )
Pengertian Akhlak Secara Etimologi, perkataan "akhlak" berasal dari bahasa Arab jama' dari bentuk mufradnya "Khuluqun" yang menurut logat diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.[1] Baik kata akhlaq atau khuluq kedua-duanya dapat dijumpai di dalam al Qur'an, sebagai berikut:
و إنّك لعلى خلق عظيم
Yang Artinya :
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang Agung.” (Q.S. Al-Qalam, 68:4).
Sedangkan menurut pendekatan secara terminologi, berikut ini beberapa pakar mengemukakan pengertian akhlak sebagai berikut:
a)         Ibn Miskawaih
Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran lebih dahulu.[2]
b)         Imam Al-Ghazali
Akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan pertimbanagan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal dan syara', maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk.[3]
c)         Prof. Dr. Ahmad Amin
Sementara orang mengetahui bahwa yang disebut akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya, kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak.
Menurutnya kehendak ialah ketentuan dari beberapa keinginan manusia setelah imbang, sedang kebiasaan merupakan perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah melakukannya, Masing-masing dari kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan, dan gabungan dari kekuatan itu menimbulkan kekuatan yang lebih besar. Kekuatan besar inilah yang bernama akhlak.[4]

Jika diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa seluruh definisi akhlak sebagaimana tersebut diatas tidak ada yang saling bertentangan, melainkan saling melengkapi, yaitu sifat yang tertanam kuat dalam jiwa yang nampak dalam perbuatan lahiriah yang dilakukan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran lagi dan sudah menjadi kebiasaan.

Jika dikaitkan dengan kata Islami, maka akan berbentuk akhlak Islami, secara sederhana akhlak Islami diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran Islam atau akhlak yang bersifat Islami. Akhlak Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah daging dan sumbernya berdasarkan pada ajaran Islam. Dilihat dari segi sifatnya yang universal, maka akhlak Islami juga bersifat universal.[5]
Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam menjabarkan akhlak universal diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan social yang terkandung dalam ajaran etika dan moral. Menghormati kedua orang tua misalnya adalah akhlak yang bersifat mutlak dan universal. Sedangkan bagaimana bentuk dan cara menghormati oarng tua itu dapat dimanifestasikan oleh hasil pemikiran manusia.
Jadi, akhlak islam bersifat mengarahkan, membimbing, mendorong, membangun peradaban manusia dan mengobati bagi penyakit social dari jiwa dan mental, serta tujuan berakhlak yang baik untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dengan demikian akhlak Islami itu jauh lebih sempurna dibandingkan dengan akhlak lainnya. Jika akhlak lainnya hanya berbicara tentang hubungan dengan manusia, maka akhlak Islami berbicara pula tentang cara berhubungan dengan binatang, tumbuh-tumbuhan, air, udara dan lain sebagainya. Dengan cara demikian, masing masing makhluk merasakan fungsi dan eksistensinya di dunia ini.

2.   Perilaku Terpuji
Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal perilaku atau akhlak salah satunya akhlak terpuji. Adapun ayat-ayat yang mejelaskan perilaku terpuji, diantaranya:
QS. Al baqoroh 153
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ (153)
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Al Baqoroh: 153)
Melalui ayat ini Allah menjelaskan perihal sabar dan hikmah yang terkandung di dalam masalah menjadikan sabar dan salat sebagai penolong serta pembimbing. Kata (الصبر) ash-shabr/sabar yang dimaksud mencakup banyak hal: sabar menghadapi ejekan dan rayuan, sabar melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, sabar dalam petaka dan kesulitan, serta sabar dalam berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan.[6] Karena sesungguhnya seorang hamba itu adakalanya berada dalam kenikmatan, lalu ia mensyukurinya; atau berada dalam cobaan, lalu ia bersabar menanggungnya. Allah SWT menjelaskan bahwa sarana yang paling baik untuk menanggung segala macam cobaan ialah dengan sikap sabar dan banyak salat, seperti yang dijelaskan di dalam firman-Nya:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ (45)
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu. (Al Baqoroh: 45)
            Sabar itu ada dua macam, yaitu sabar dalam meninggalkan hal-hal yang di haramkan dan dosa-dosa, serta sabar dalam menjalankan ketaatan  dan amal-amal shaleh. Adapun jenis sabar lainnya, yaitu sabar dalam menanggung segala macam musibah dan cobaan, jenis inipun hukumnya wajib; perihalnya sama dengan  istigfar (memohon ampun) dari segala macam cela.[7]
Karena kesabaran membawa kepada kebaikan dan kebahagiaan, maka manusia tidak boleh berpangku tangan, atau terbawa kesedihan oleh petaka yang dialaminya, ia harus berjuang dan berjuang. Memperjuangkan kebenaran, dan menegakkan keadilan. Dengan sikap seperti itu diharapkan Ummat islam memiliki mental yang kuat dan tidak cengeng dalam menghadapi lika-liku dan kerasnya kehidupan di dunia, sehingga manusia itu akan bertambah lebih maju.
QS. Al imran 133-134
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنْ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134)
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (Al Imran: 133-134)
Ayat ini, menganjurkan peningkatan upaya, melukiskan upaya itu bagaikan satu perlombaan, dan kompetisi yang memang merupakan salah satu cara peningkatan kualitas. Karena itu bersegeralah kamu bagaikan ketergesaan seorang yang ingin mendahului yang lain menuju ampunan dari Tuhanmu dengan menyadari kesalahan dan berlombalah mencapai, yaitu surga yang sangat agung yang lebarnya, yakni luasnya selebar seluas langit dan bumi yang disediakan untuk al-muttaqin, yakni orang-orang yang telah mantap ketakwaannya, yang taat melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Ayat ini juga menunjukkan tiga kelas manusia atau jenjang sikapnya. Pertama, yang mampu menahan amarah. Kata (الكاظمين) mengandung makna penuh dan menutupnya dengan rapat. Diatas tingkat ini, adalah yang memaafkan. Kata (العافين) terambil dari kata (العفن) al-‘afn yang bararti maaf atau juga bisa diartikan menghapus. Seseorang yang memafkan orang lain, adalah menghapus bekas luka hatinya akibat kesalahan yang dilakukan orang lain terhadapnya. Selanjutnya, untuk mencapai tingkat ketiga Allah mengingatkan bahwa yang disukainya adalah orang-orang yang berbuat kebajikan, yakni bukan orang yang sekedar menahan amarah, atau memaafkan tetapi justru yang berbuat baik kepada yang pernah melakukan kesalahan.[8]
Untuk itu, disini kita bisa melihat tingkat-tingkat kenaikan takwa seorang mu’min. Pertama, mereka pemurah, baik dalam waktu senang atau dalam waktu susah. Artinya kaya atau miskin berjiwa dermawan. Naik setingkat lagi, yaitu pandai menahan amarah. Tetapi bukan tidak ada marah, karena orang yang tidak ada rasa marahnya sama sekali ketika melihat yang salah adalah orang yang tidak berperasaan. Yang dikehendaki disini, ialah kesanggupan mengendalikan diri ketika marah. Ini adalah tingkat dasar. Kemudian naik setingkat lagi, yaitu memberi maaf. Kemudian naik ketingkat yang diatas sekali, menahan amarah, member maaf, diiringi dengan berbuat baik, khususnya kepada orang yang nyaris dimarahi dan dimaafkan itu.
Demikianlah takwa bekerja dibidang ini, dengan dorongan-dorongan dan motivasi-motivasinya. Marah adalah perasaan manusiawi yang diiringa dengan naiknya tekanan darah. Marah adalah salah satu dorongan yang menjadi kelengkapan penciptaan manusia dan salah satu kebutuhannya. Manusia tidak dapat menundukkan kemarahan ini kecuali dengan perasaan yang halus dan lembut yang bersumber dari pancaran takwa, dan dengan kekuatan ruhiah yang bersumber dari pandangannya kepada ufuk yang lebih luas dari pada ufuk dirinya dan cakrawala kebutuhannya.
QS. An nisa’ 114
لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً (114)
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (an nisa’: 114)
Ayat ini merupakan pendidikan yang sangat berharga bagi masyarakat, yakni untuk saling terbuka, sedapat mungkin untuk tidak saling merahasiakan sesuatu. Kerahasiaan mengandung makna ketidakpercayaan sedangkan keterbukaan dan terus terang menunjukkan keberanian pembicara.
“tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka manusia”dari sini dapat dipahami larangan Nabi saw melakukan pembicaraan rahasia dihadapan orang lain, yang nantinya dapat menimbulkan fitnah, sehingga memunculkan rasa dengki hati dan suudzan yang dapat memecah belah umat. Maka dari itu jelahslah bahwa bisik-bisik tidak ada kebaikan atau manfaat yang bisa diambil. Mana yang tidak setuju hendaknya dukatakan terus terang.
“kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia” dari tiga hal diatas tidak mengandung madzarat kalo diperbisikkam. , bahkan memang patut ghal-hal tersebut diperbisikkan terlebih dahulu.
Menyuruh atau menganjurkan orang mengeluarkan sedekah memang kadang-kadang perlu dirahasiakan terlebih dahulu, supaya dapat diteliti siapa yang patut menerimanya. Sebab ada orang yang berhak menerima sedekah atau zakat tetapi dia malu memintanya atau malu ketahuan. Banyak orang yang mempunyai budi yang dinamai iffah, yaitu pandai menahan diri, sehingga banyak orang yang menyangka dia kaya, padahal dia berhak menerima sedekah ataupun zakat. Dan lebih baik lagi kalo diberikan secara rahasia, sehingga yang diberi tidak merasa malu. Demikian pula, ada orang yang mampu mengeluarkan zakat, tetapi dia enggan memperlihatkannya karena takut riya’, maka dia memberikan zakat tersebut secara rahasia.
Menyuruh perbuatan yang ma’ruf kadang-kadang lebih baik disampaikan secara rahasia. Seperti orang yang melakukan perbuatan jelek ditegur dihadapan banyak orang akan menimbulkan masalah lain, maka sebaiknya dilakukan teguran tersebut secara rahasia. Mendamaikan orang yang sedang berselisih sepatutnya dilakukan secar rahasia. Hal ini untuk menjaga nama baik kedua belah pihak
Menurut ar-razi sesungguhnya amal pada garis besarnya tidak keluar dari memberi manfaat atau menafikkan madzarat,pemberian manfaat dapat bersifat material dan inilah yang diwakili oleh sedekah, sedangkan yang bersifat immateraial ditunjukkan dengan amar ma’ruf. Ma’ruf dapat mencangkup pengembangan potensi kemampuan teoritis melalui pemberian pengetahuan, atau pengembangan potensi melalui keteladanan.[9]
Semua bisik-bisik ditempat sunyi tidak menimbulkan bahaya. Asal ada niat baik rerkandung didalamnya , sebab lanjutan ayat berbunyi dengan tegas” dan barangsiapa yang berbuat demikian”yaitu segala macam bisik yang mengandung maksud baik, yang bukan hendak merugikan orang lain, karena menginginkan keridhaan Allah. Sebab timbul pengaruh iman kepada Tuhan dan kasih sayang sesama manusia. Lantaran bersedekah, menyuruh berbuat baik dan mendamaikan orang yang bertengkar atau berkelahi. Yang nantinya Allah akan memberi pahala yang sangat besar.
Oleh karenaitu, kita sebagai manusia harus menjaga komunikasi antar manusia supaya tidak menimbulkan perpecahan diantara sesama manusia, karena komunikasi itu penting dalam sebuah kehidupan dimanapun kita berada.

3.   Perilaku Tercela
Perilaku tercela adalah perilaku yang yang dipandang tidak baik dan tidak sesuai dengan syara’(tidak sesuai dengan ajaran islam), ayat-ayat al qur’an yang menerangkan perilaku tercela diantaranya:
QS. Al Anfal 27
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (27)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (Al Anfal: 27)
Ayat ini mengaitkan orang-orang beriman dengan amanah atau larangan berkhianat. Bahwa diantara indikator keimanan seseorang adalah sejauh mana dia mampu melaksanakan amanah. Demikian pula sebaliknya bahwa ciri khas orang munafik adalah khianat dan melalaikankan amanah-amanahnya.
            Kata ( تخونوا ) takhunu terambil dari kata ( الخون ) al- khaun yakni “kekurangan”, antonimnya adalah ( الوفاء ) al-wafa’ yang berarti “kesempurnaan”. Selanjutnya kata “khianat” di gunakan sebagai antonim dari “amanat” karena jika seseorang mengkhianati pihak lain maka dia telah mengurangi kewajiban yang ia harus tunaikan. Kata ( أمنات ) amanat adalah bentuk jamak dari kata ( امنة ) amanah yang terambil dari kata ( أمن ) amina yang berarti “merasa aman”, dan “percaya”. Siapa yang dititipi amanat, maka itu berarti yang menitipkannya percaya kepadanya dan merasa aman bahwa sesuatu yang dititipkan itu akan diperlihara olehnya.[10]
Tetapi perlukita tahu bahwa sikap munafik ini perlu kita hindari jauh-jauh demi keberlangsungan hidup yang harmonis.
 QS. Al isra’ 26-27
وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيراً (26) إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُوراً (27)
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. ( Al Isra’: 26-27 )

Allah SWT memerintahkan kepada kaum Muslimin agar menunaikan hak kepada keluarga-keluarga yang dekat, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Hak yang harus ditunaikan itu ialah: Mempererat tali persaudaraan dan hubungan kasih sayang, mengunjungi rumahnya dan bersikap sopan santun, serta membantu meringankan penderitaan-penderitaan yang mereka alami.
            Kata ( اتوا ) atu bermakna pemberian sempurna. Pemberian yang dimaksud bukan hanya terbatas pada hal-hal materi tetapi juga inmateri. Kata ( تبدير ) tabdzir/pemborosan dipahami oleh ulama dalam arti pengeluaran yang bukan haq, karena itu jika seseorang menafakahkan/membelanjakan semua hartanya dalam kebaikan atau haq, maka ia bukan seorang pemboros. Seperti Sayyidina Abu Bakar ra menyerahkan semua hartanya kepada Nabi saw dalam rangka berjihat dijalan Allah.
            Kata ( إخوان ) ikhwan adalah bentuk jamak dari kata ( أخ ) akh yang bisa diterjemahkan saudara. Kata ini pada mulanya berarti persamaan dan keserasian. Dari sini persamaan dalam asal usul keturunan mengakibatkan persaudaraan, baik asal usul jauh, lebih-lebih yang dekat. Persaudaraan setan dengan pemboros adalah persamaan sifat-sifatnya. Mereka berdua sama melakukan hal-hal yang batil, tidak pada tempatnya.Penambahan kata ( كانوا ) kanu pada penggalan ayat di atas, untuk mengisyaratkan kemantapan persamaan dan persaudaraan itu.[11]
Penyifatan dengan kufur/sangat ingkar merupakan peringatan keras kepada para pemboros yang menjadi teman setan itu, bahwa persaudaraan dan kebersamaan mereka dengan setan dapat mengantar mereka pada kekufuran.
Dan sikap boros itu sangat berbahaya bagi orang yang tidak bisa mengendalikan nafsunya, karena nafsu itu berkorelasi dengan sifat boros yang jelas-jelas merugikan manusia dari segi jasmani maupun rohani.
QS. An nisa’ 148
لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنْ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعاً عَلِيماً (148)
Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. ( An Nisa’: 148 )
“Allah tidaklah suka penyebaran perkataan-perkataan yang buruk.” (pangkalayat148).  Kalau dikatakan Allah tidak suka, niscaya Allah membencinya.  Maka amatlah benci menyiar-nyiarkan atau menjelas-jelaskan perkataan yang buruk, yang kotor, yang cabul dan yang carut-marut.  Yang disukai oleh Allah hanyalah kata-kata yang sopan yang tidak menyinggung perasaan, yang tidak merusak akhlak. 
Untuk menuntun batin dan kesopanan kita, pada penutup, Tuhan menyatakan bahwa Dia selalu mendengar apa yang kita ucapkan, sopankah atau kotor, dan mengetahui perangai-perangai dan kelakuan kita yang akan bisa menjatuhkan Muru’ah (harga diri). Karena banyaknya kata kotor, adalah alamat dari budi dan batin yang memulai kotor. Padahal ummat yang beragama, sudah semestinya mempunyai kesopanan yang tinggi.
Tentu saja perkataan yang tidak patut kita ucapkan itu sangat tidak menguntungkan bagi pribadi maupun khalayak umum, karena perkataan yang tidak baik itu dapat menimbulkan perpecahan.
4. Balasan Terhadap Perilaku Terpuji dan Tercela
Orang bekerja mesti ada ganjarannya begitupun dengan perilaku terpuji dan tercela. Allah SWT tidak akan menyia-nyiakan perbuatan manusia, oleh karena itu Allah membalas perilaku-perilaku yang dilakukan manusia sebagaimana yang di sebutkan dalam ayat-ayat berikut:
QS. Al an’am 160
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلا يُجْزَى إِلاَّ مِثْلَهَا وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ (160)
Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). (Al An’am: 160)

Ayat ini menjelaskan bahwa pembalasan Allah SWT. sungguh adil, yakni barang siapa diantara manusia yang datang membawa amal yang baik, yakni berdasar iman yang benar dan ketulusan hati, maka baginya pahala sepuluh kali lipatnya yakni sepuluh kali lipat amalnya sebagai karunia dari Allah SWT; dan barang siapa yang membawa perbuatan yang buruk maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, itu pun jikalau allah menjatuhkan sanksi atasnya, tetapi tidak sedikit keburukan hamba yang dimaafkannya. Kalau allah menjatuhkan sanksi, maka itu sangat adil, dan dengan demikian mereka yakni yang melakukan kejahatan itu sedikitpun tidak dianiaya tetapi masing-masing akan memperoleh hukuman setimpal dengan dosanya. Adapun yang berbuat kebajikan, maka bukan saja mereka tidak dianiaya, bukan juga mereka diberi ganjaran yang adil, tetapi mereka mendapat anugerah dari Allah SWT.[12]
Ayat ini memerintahkan kita supaya memperbanyak berbuat baik. Artinya ialah barang siapa yang dating kepada Allah di hari kiamat dengan sifat-sifat yang baik, maka ia akan mendapat ganjaran atau pahala dari Allah SWT.
Dan barang siapa yang nantinya menghadap Allah dengan sifat-sifat jahat yang telah tertanam dalam dirinya, maka ganjaran siksaan yang akan diterimnya adalah setimpal dengan kejahatannya. Artinya suatu kejahatan tidaklah akan dibalas dengan sepuluh kali ganda siksaan. Maka ayat ini memberikan kejelasan benar bagi kita bahwasanya sifat Rohman dan Rohim Allah lebih berpokok dari sifat murkanya Allah SWT.
QS. An-Nisa : 79
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنْ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولاً وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيداً (79)
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi. (An-Nisa’: 79)
 Ayat ini menegaskan sisi upaya manusia yang berkaitan dengan sebab dan akibat. Hukum-hukum alam dan kemasyrakatan cukup banyak dan beraneka ragam. Dampak baik dan dampak buruk untuk setiap gerak dan tindakan telah ditetapkan Allah melalaui hukum-hukum tersebut, manusia diberi kemampuan memilah dan memilih, dan masing-masing akan mendapatkan hasil pilihannya. Allah sendiri melalui perintah dan larangan-Nya menghendaki, bahkan menganjurkan kepada manusia agar meraih kebaikan dan nikmat-Nya, karena itu ditegaskan-Nya bahwa, apa saja nikmat yang engkau peroleh, wahai Muhammad dan semua manusia, adalah dari Allah, yakni Dia yang mewujudkan anugerah-Nya, dan apa saja bencana yang menimpamu, engkau wahai Muhammad dan siapa saja selain kamu, maka bencana itu dari kesalahan dirimu sendiri, karena Kami mengutusmu tidak lain hanya menjadi Rasul untuk menyampaikan tuntutan-tuntutan Allah kepada segenap manusia, kapan dan di mana pun mereka berada. Kami mengutusmu hanya menjadi Rasul, bukan seorang yang dapat menentukan baik dan buruk sesuatu sehingga bukan karena terjadinya bencana atau keburukan pada masamu kemudian dijadikan bukti bahwa engkau bukan Rasul. Kalaulah mereka menduga demikian, biarkan saja. Dan cukuplah Allah menjadi saksi atas kebenaranmu.
Ayat diatas secara redaksional ditujukan kepada Rasulullah saw., tetapi kandungannya terutama ditujukan kepada mereka yang menyatakan bahwa keburukan bersumber dari Nabi atau karenakesialan yang menyertai beliau. Pengarahan redaksi ayat ini kepada Nabi membuktikan bahwa kalau beliau yang sedemikian dekat dengan kedudukannya di sisi Allah serta sedemikian kuat ketakwaannya kepada Allah tetap tidak dapat luput dari sunnatullah dan takdir-Nya, maka tentu lebih-lebih yang lain. Allah tidak membedakan seseorang dari yang lain dalaqm hal sunnatullah ini.[13]
 Setiap kebaikan yang diperoleh oleh orang mukmin, sesungguhnya berasal dari karunia dan kemurahan Allah, di ayat ini ada dua hal yang perlu diketahui :
Ø  Bahwa segala sesuatu yang berasal dari sisi Allah, dalam arti bahwa Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan menggariskan aturan-aturan.
Ø  Manusia terjerumus kedalam keburukan tidak lain disebabkan dia lalai untuk mengetahui sunnah-sunnah. Sesuatu dikatakan buruk, sebenarnya disebabkan oleh tindakan manusia itu sendiri.
Berdasarkan pandangan ini, maka kebaikan berasal dari karunia Allah secara mutlak, dan keburukan berasal dari diri manusia sendiri secara mutlak. Masing-masing dari dua kemutlakan ini mempunyai posisi pembicaraan tersendiri. Telah banyak dasar yang menyatakan bahwa ketaatan kepada Allah merupakan salah satu sebab mendapatkan nikmat, dan bahwa kedurhakaaan kepadanya merupakan salah satu jalan yang mendatangkan kesengsaraan. Ketaatan kepadanya adalah mengikuti sunnah-sunnah-Nya dan menggunakan jalan-jalan yang telah diberi-Nya pada tempat mestinya.
“Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia”. Kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan ajaran Allah. Dia tidak mempunyai urusan dan campur dalam perkara kebaikan dan keburukan yang menimpa manusia, karena beliau diutus menyampaikan ajaran menyampaikan hidayah.
“Dan cukuplah Allah menjadi saksi”. Sesungguhya rasul diutus kepada seluruh umat manusia hanya sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, bukan sebagai orang yang berkuasa atau untuk mengubah dan mengganti aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT




QS. Hud : 114
وَأَقِمْ الصَّلاةَ طَرَفِي النَّهَارِ وَزُلَفاً مِنْ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ (114)
Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. (Hud: 114)

Ayat ini mengajarkan: “ dan dirikanlah shalat dengan teratur dan benar sesuai dengan ketentuan, rukun, syarat dan sunnah-sunnahnya pada kedua tepi siang yakni pagi dan petang, atau Subuh, Dzuhur dan Ashar dan pada bagian permulaan daripada malam yaitu Maghrib dan Isya, dan juga bisa termasuk Witir dan Tahajud. Yang demikian itu dapat menyucikan jiwa dan mengalahkan kecenderungan nafsu untuk berbuat kejahatan. Sesungguhnya kebajikan-kebajikan itu yakni perbuatan-perbuatan baik seperti shalat, zakat, shadakah, istighfar, dan aneka ketaatan lain dapat menghapuskan dosa kecil yang merupakan keburukan-keburukan yakni perbuatan-perbuatan buruk yang tidak mudah dihindari manusia. Adapun dosa besar, maka itu membutuhkan ketulusan hati untuk bertaubat, permohonan ampun secara khusus dan tekad untuk tidak mengulanginya. Iitu yakni petunjuk-petunjuk yang disampaikan sebelum ini yang sungguh tinggi nilainya dan jauh kedudukannya itulah peringatan yang sangat bermanfaat bagi orang-orang yang siap menerimanya dan yang ingat tidak melupakan Allah.
Disamping mengandung makna bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa kecil apabila seseorang telah mengerjakan amal-amal saleh, juga mengandung makna bahwa amal-amal saleh yang dilakukan seseorang secara tulus dan konsisten akan dapat membentengi dirinya sehingga dengan mudah dia dapat terhindar dari keburukan-keburukan. Makna semacam ini sejalan juga dengan firman Allah dalam surah al-Ankabut ayat 45, yang artinya “ sesungguhnya shalat mencegah perbuatan keji dan munkar "[14]
Dalam tafsir at-Tabari dijelaskan bahwa ada beberapa faedah yang dikandung ayat ini adalah penjelasan untuk mendirikan salat wajib. Ayat ini menjelaskan secara ringkas semua waktu shalat yang wajib. Karena kedua tepi siang mencakup shalat subuh, shalat dzuhur dan shalat ashar. Adapun bagian permulaan malam mencakup shalat maghrib dan isya. Namun Imam Ath-Thabari lebih memilih pendapat bahwa bahwa shalat pada kedua tepi siang itu maksudnya adalah shalat subuh dan maghrib.
Ayat ini menjelaskan bahwa shalat termasuk diantara al-hasanat (amal  saleh). Ayat ini juga menjelaskan bahwa al-Quran sebagai mau’izhan (nasihat) bagi mereka yang mengingat-ingat. Orang-orang yang ingat disebut secara khusus disini karena mereka yang mendapat manfaat dari nasihat itu.
QS. Al-Hijr : 39-40
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لأزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الأَرْضِ وَلأغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ (39) إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمْ الْمُخْلَصِينَ (40)

Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau Telah memutuskan bahwa Aku sesat, pasti Aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti Aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis  di antara mereka".(Al-Hijr: 39-40)
setelah Allah menyampaikan bahwa Iblis akan termasuk mereka yang ditangguhkan hidupnya hingga waktu tertentu, Iblis berkata, “Tuhanku, disebabkan oleh penyesatan-Mu terhadap diriku yakni kutukan-Mu terhadapku hingga hari kemudian, maka pasti aku akan memperindah bagi mereka yakni menjadikan mereka memandang baik perbuatan maksiat serta segala macam aktivitas di muka bumi yang mengalihkan mereka dari pengabdian kepada-Mu, dan pasti pula dengan demikian aku akan dapat menyesatkan mereka semuanya dari jalan lurus menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Upaya tersebut akan menyentuh semua manusia, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas diantara mereka, yakni yang engkau pilih karena mereka telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Mu.[15]
Allah berfirman memberi tahu bahwa iblis berkata kepadanya, “Ya Tuhanku, dikarenakan engkau telah menakdirkan aku tersesat, maka pasti aku akan menyesatkan anak cucu adam dengan membujuk mereka memandang baik segala perbuatan maksiat dan mendorong mereka dengan segala tipu daya agar mereka menjauhi segala perintahmu dan pasti aku akan berhasil dalam usaha penyesatanku ini kecuali terhadap beberapa hamba-hamba-Mu yang memperoleh taufik dan hidayah untuk menaati segala petunjuk dan perintahmu.
QS. Muhammad : 15
مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ فِيهَا أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍ غَيْرِ آسِنٍ وَأَنْهَارٌ مِنْ لَبَنٍ لَمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ وَأَنْهَارٌ مِنْ خَمْرٍ لَذَّةٍ لِلشَّارِبِينَ وَأَنْهَارٌ مِنْ عَسَلٍ مُصَفًّى وَلَهُمْ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَمَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ كَمَنْ هُوَ خَالِدٌ فِي النَّارِ وَسُقُوا مَاءً حَمِيماً فَقَطَّعَ أَمْعَاءَهُمْ (15)
Perumpamaan (penghuni) jannah yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak beubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka, sama dengan orang yang kekal dalam jahannam dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong ususnya. (Muhammad: 15)
Ayat di atas menguraikan sekelumit dari ganjaran yang di janjikan kepada orang-orang bertakwa.Kata ( مثل ) matsal digunakan dalam arti perumpamaan yang aneh atau menakjubkan. Perlu diingat bahwa matsal bukan berarti persamaan antara dua hal, ia hanya perumpamaan. Memang ada perbedaan antara ( مثل ) matsal dan ( مثل ) mitsil. Yang kedua ( mitsil ) mengandung makna persamaan bahkan keserupaan atau kemiripan, sedangkan matsal tekanannya lebih banyak pada keadaan atau sifat yang menakjubkan yang dilukiskan oleh kalimat matsal itu. Keadaan surge tidak dapat dipersamakan dengan sesuatu, karena seperti sabda Nabi saw : “Di sana terdapat apa yang belum pernah dilihat mata, atau didengar oleh telinga dan terlintas dalam benak manusia.”
            Kata ( أنهار ) anhar adalah bentuk jamak dari kata ( نهر ) nahar yaitu aliran air yang sangat besar yang biasanya bukan buatan manusia tetapi alami. Dalam kehidupan dunia, kita tidak menemukan sungai yang mengalir darinya susu, madu atau khamr. Anda dapat memahami kata anhar di sini dalam pengertian metafora yakni di sama akan ditemukan dengan mudah dan banyak minuman-minuman itu seperti halnya menemukan dalam kehidupan dunia ini aliran air. Seperti yang di kemukakan di atas bahwa ini adalah matsal yang bukan berarti sama.[16]
5.      Hikmah hikmah melaksanakan perilaku terpuji dan menjauhi perilaku tercela
a.       Menumbuhkan rasa solidaritas sesama muslim atau ukhuah islamiyah, sehingga persaudaraan selalu terpupuk dengan kuat
b.      Menumbuhkan sikap disiplin dan sikap mental yang kuat dalam kehidupan bermasyarakat
c.       Mendidik jiwa agar biasa dan dapat menguasai diri, sehingga mudah menjalankan segala kebaikan dan meninggalkan segala larangan
d.      Disenangi teman dan disegani lawan,
e.       Sebuah pembuktian ketaatan dan ketakwaan seorang manusia kepada Allah, sehingga ia semakin dekat dengan sang pencipta
f.       Terhindar dari penyakit-penyakit lahir dan batin yang berlebihan, karena penyakit ini sangat berbahaya bagi diri manusia itu sendiri dan orang lain, sehingga dapat merusak antara habluminallah, habluminannas, dan habluminalalam
 
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari beberapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang perilaku manusia, kita bisa memahami sebernarnya manusia adalah makhluk yang lemah namun memiliki keinginan kuat untuk menguasai dunia. Keinginan tersebut tidak seimbang dengan ketahanan batin manusia yang banyak mengeluh ketika mendapat cobaan.
Yang perlu di ingat, bahwasanya syetan akan terus menarik kita ke lembah kehancuran. Dia merasa dirinya terusir dan terlaknat akibat ulah manusia. Untuk itu, kita haruslah menjaga diri kita dengan melaksanakan apa yang Allah perintahkan kepada kita dengan sabar dan ikhlas karena semua dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Mudah-mudahan kita menjadi golongan yang beruntung di hari akhir seperti yang dicontohkan didalam Al-Qur’an agar diri kita tidak merugi pada hari pembalasan kelak.











 DAFTAR PUSTAKA

Ad-Dimasyqi, Ibnu Kasir. 2000. Terjemah Tafsir Ibnu Kasir Juz 2. Bandung:
Sinar Baru Algensindo
Zahruddin. 2004. Pengantar Ilmu Akhlak, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Ardani, Moh. 2005. Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Mitra Cahaya Utama
Nata,  Abuddin. 2003. Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Shihab, Quraish. 2000. Tafsir Al-Misbah  Volume 2.  Jakarta: Lentera Hati
_____________. 2000. Tafsir Al-Misbah volume 4. Jakarta. Lentera Hati
_____________. 2002. Tafsir Al-Misbah  volume 3. Jakarta: Lentera Hati
_____________. 2002. Tafsir Al-Misbah Volume 6. Jakarta: Lentera Hati
_____________. 2002. Tafsir Al-Misbah Volume 7. Jakarta: Lentera Hati
_____________. 2004. Tafsir Al-Misbah Volume 13. Jakarta: Lentera Hati
_____________. 2005. Tafsir Al-Misbah volume 1. Jakarta: Lentera Hati



[1] Zahruddin AR, Pengantar Ilmu Akhlak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 1
[2] Zahruddin AR, Pengantar Ilmu Akhlak, 4
[3] Prof. Dr. H. Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf, ( PT. Mitra Cahaya Utama, 2005), 29
[4] Zahruddin AR, Pengantar Ilmu Akhlak, 4-5.
[5] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 147

[6] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah volume 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 335
[7] Imam Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi,, Terjemah Tafsir Ibnu Kasir Juz 2 (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), 49

[8] M. Quraisy Shihab. Tafsir Al-Misbah volume 3 (Jakarta:Lentera Hati. 2002),220

[9] M. Quraisy Shihab. Tafsir Al-Misbah volume 4 (Jakarta. Lentera Hati. 2000), 587

[10] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Leentera hati, 2005), 432
[11] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 452
[12] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 4 (Jakarta: Lentera Hati, 2000),352
[13] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah  Volume 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2000),497
[14] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 6 (Jakarta: Lentera Hati, 2002),355-357
[15] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 7 (Jakarta: Lentera Hati, 2002),128-129
[16] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 13 (Jakarta: Lentera hati, 2004),132-133